Syeh subakir- Beliau adalah SYEKH TAMBUH ALY BEN SYEKHBAQIR (SYEKH SUBAKIR) bin Abdulloh bin
Aly bin Ahmad bin Aly bin Ahmad bin Abdulloh bin Ahmad bin Muhammad bin Ahmad
bin Aly bin Abubakar bin Salman bin Hasyim bin Ahmad bin Badrudin bin
Barkatulloh bin Syafiq bin Badrudin bin Omar bin Aly bin Salman Alfarisiy
Asshohabi Rodliyallohu anhu waanhum ajmain.
Beliau dilahirkan tanggal 20 Romdlon 787 H. di Demak. Wafat 21 Syawal 1021 H. di Condro. Beliau pernah menuntut ilmu agama di Masjidil Haram Mekkah selama 10 tahun. Beliau siang puasa, baca Qur’an malam hari, dzikir malam LA ILAHA ILLALLOH dan membaca sholawat pada siang hari. Asal beliau dari Parsi atau sekarang dikenal dengan nama Iran. Thoriqot beliau thoriqoh MAGHROBIYAH.
Isteri-isteri beliau :
·
Cut Nazilah dari Aceh
·
Sheikhoh Aisyah Binti Muhammad Al Marbawi dari Aceh
·
Signorita Miguela dari Portugis
·
Roro Wulandari Bibi dari Minak Koncar Lumajang.
Keturunan-keturunan
beliau tersebar di beberapa Bangsa.
Kekeramatan Syeikh Abdurrohman Assyaibani RA adalah :
·
Bisa berbicara semua Bahasa, termasuk bahasa Malaikat, jin dan Hewan.
·
Segala Hajat yang dinginkan beliau pasti terkabul, karena keramat beliau KUN
FAYAKUN.
· Dalam berdakwah tidak membutuhkan kendaraan, kemana-mana asal tujuan dakwah bisa
· Dalam berdakwah tidak membutuhkan kendaraan, kemana-mana asal tujuan dakwah bisa
sampai
tujuan dalam hitungan Detik.
Fatwa-fatwa Syeikh Abdurrohman Assyaibani RA diantaranya :
·
Allah itu Maha Segalanya.
·
Taqwa itu Sholat, Tasbih dan Puasa
·
Islam itu Damai seluruh Dunia
·
Ilmu itu supaya bertambah, harus di Amalkan.
·
Makan itu untuk Hidup, kalau tidak terpaksa Tidak Makan
·
Hukum dan Pemeritah itu apa Kata Rakyat
Murid-murid Syeikh Abdurrohman Assyaibani RA, diantaranya:
·
Syekh Abdullah (dulu makamnya di SDN1 atau BRI Lumajang. Sekarang dipindah ke makam umum Jogoyudan Lumajang)
·
Syekh Muhammad Anas dari Demak. (Makamnya di belakang Masjid Jamik Anas Mahfud
Lumajang)
Wilayah da’wah beliau Lumajang dan sekitarnya. Perjuangannya menyebarkan agama Islam memberi pencerahan mengatasi kegelapan dan kemusyrikan masyarakat. Dengan keramatnya semua manusia dan hewan tunduk menuruti ajakan beliau dengan senang hati.
”Dalam legenda yang beredar di Pulau Jawa dikisahkan, Sudah beberapa kali utusan dari Arab, untuk menyebarkan Agama Islam di tanah Jawa khususnya, dan Indonesia pada umumnya telah gagal secara makro. Disebabkan orang-orang Jawa pada waktu itu masih kokoh memegang kepercayaan lama. Dengan tokoh-tokoh gaibnya masih sangat menguasai bumi dan laut di sekitar P Jawa. Para ulama yang dikirim untuk menyebarkan Agama Islam mendapat halangan yang sangat berat, meskipun berkembang tetapi hanya dalam lingkungan yang kecil, tidak bisa berkembang secara luas. Secara makro dapat dikatakan gagal. Maka diutuslah Syeh Subakir untuk menyebarkan agama Islam dengan membawa batu hitam yang dipasang di seantero Nusantara, untuk tanah Jawa diletakkan di tengah-tengahnya yaitu di gunung Tidar . Efek dari kekuatan gaib suci yang dimunculkan oleh batu hitam menimbulkan gejolak, mengamuklah para mahluk : Jin, setan dan mahluk halus lainnya. Syeh Subakirlah yang mampu meredam amukan dari mereka. Akan tetapi mereka sesumbar dengan berkata: “ Walaupun kamu sudah mampu meredam amukan kami, kamu dapat mengembangkan agama Islam di tanah Jawa, tetapi Kodratullah tetap masih berlaku atas ku ingat itu wahai Syeh Subakir.” “Apa itu?” kata Syeh Subakir. Kata Jin, “Aku masih dibolehkan untuk menggoda manusia, termasuk orang-orang Islam yang imannya masih lemah”.
yekh Subakir diutus ke Tanah Jawa bersama-sama dengan Wali Songo Periode Pertama, yang diutus oleh Sultan Muhammad I dari Istambul, Turkey, untuk berdakwah di pulau Jawa pada tahun 1404, mereka diantaranya:
Wilayah da’wah beliau Lumajang dan sekitarnya. Perjuangannya menyebarkan agama Islam memberi pencerahan mengatasi kegelapan dan kemusyrikan masyarakat. Dengan keramatnya semua manusia dan hewan tunduk menuruti ajakan beliau dengan senang hati.
”Dalam legenda yang beredar di Pulau Jawa dikisahkan, Sudah beberapa kali utusan dari Arab, untuk menyebarkan Agama Islam di tanah Jawa khususnya, dan Indonesia pada umumnya telah gagal secara makro. Disebabkan orang-orang Jawa pada waktu itu masih kokoh memegang kepercayaan lama. Dengan tokoh-tokoh gaibnya masih sangat menguasai bumi dan laut di sekitar P Jawa. Para ulama yang dikirim untuk menyebarkan Agama Islam mendapat halangan yang sangat berat, meskipun berkembang tetapi hanya dalam lingkungan yang kecil, tidak bisa berkembang secara luas. Secara makro dapat dikatakan gagal. Maka diutuslah Syeh Subakir untuk menyebarkan agama Islam dengan membawa batu hitam yang dipasang di seantero Nusantara, untuk tanah Jawa diletakkan di tengah-tengahnya yaitu di gunung Tidar . Efek dari kekuatan gaib suci yang dimunculkan oleh batu hitam menimbulkan gejolak, mengamuklah para mahluk : Jin, setan dan mahluk halus lainnya. Syeh Subakirlah yang mampu meredam amukan dari mereka. Akan tetapi mereka sesumbar dengan berkata: “ Walaupun kamu sudah mampu meredam amukan kami, kamu dapat mengembangkan agama Islam di tanah Jawa, tetapi Kodratullah tetap masih berlaku atas ku ingat itu wahai Syeh Subakir.” “Apa itu?” kata Syeh Subakir. Kata Jin, “Aku masih dibolehkan untuk menggoda manusia, termasuk orang-orang Islam yang imannya masih lemah”.
yekh Subakir diutus ke Tanah Jawa bersama-sama dengan Wali Songo Periode Pertama, yang diutus oleh Sultan Muhammad I dari Istambul, Turkey, untuk berdakwah di pulau Jawa pada tahun 1404, mereka diantaranya:
1.
Maulana
Malik Ibrahim, berasal dari Turki, ahli mengatur negara.
2.
Maulana Ishaq, berasal dari Samarkand, Rusia
Selatan, ahli pengobatan.
3.
Maulana
Ahmad Jumadil Kubro, dari Mesir.
4.
Maulana
Muhammad Al Maghrobi, berasal dari Maroko.
5.
Maulana Malik Isro’il, dari Turki, ahli
mengatur negara.
6.
Maulana
Muhammad Ali Akbar, dari Persia (Iran), ahli pengobatan.
7.
Maulana
Hasanudin, dari Palestina.
8.
Maulana
Aliyudin, dari Palestina.
9.
Syekh
Subakir, dari Iran, Ahli menumbali daerah yang angker yang dihuni jin jahat.
Keberadaan daerah Magelang terbungkus oleh berbagai legenda. Salah satu dongeng yang hidup dikalangan rakyat mengisahkan --sebagaimana dikisahkan M. Bambang Pranowo (2002)-- bahwa pada zaman dahulu kala, ketika Pulau Jawa baru saja diciptakan oleh Sang Maha Pencipta dalam bentuk tanah yang terapung-apung di lautan luas; tanah tersebut senantiasa bergerak kesana kemari. Seorang dewa kemudian diutus turun dari kahyangan untuk memaku tanah tersebut agar berhenti bergerak. Kepala dari paku yang digunakan untuk memaku Pulau Jawa tersebut akhirnya menjadi sebuah gunung yang kemudian dikenal sebagai Gunung Tidar. Gunung yang terletak di pinggir selatan kota Magelang yang kebetulan berada tepat dibagian tengah Pulau Jawa tersebut memang berbentuk kepala paku; karena itu gunung Tidar dikenal luas sebagai “pakuning tanah jawa”.
Keberadaan daerah Magelang terbungkus oleh berbagai legenda. Salah satu dongeng yang hidup dikalangan rakyat mengisahkan --sebagaimana dikisahkan M. Bambang Pranowo (2002)-- bahwa pada zaman dahulu kala, ketika Pulau Jawa baru saja diciptakan oleh Sang Maha Pencipta dalam bentuk tanah yang terapung-apung di lautan luas; tanah tersebut senantiasa bergerak kesana kemari. Seorang dewa kemudian diutus turun dari kahyangan untuk memaku tanah tersebut agar berhenti bergerak. Kepala dari paku yang digunakan untuk memaku Pulau Jawa tersebut akhirnya menjadi sebuah gunung yang kemudian dikenal sebagai Gunung Tidar. Gunung yang terletak di pinggir selatan kota Magelang yang kebetulan berada tepat dibagian tengah Pulau Jawa tersebut memang berbentuk kepala paku; karena itu gunung Tidar dikenal luas sebagai “pakuning tanah jawa”.
Dongeng lain yang tentunya diciptakan setelah masuknya Islam mengisahkan bahwa pada zaman dahulu daerah ini merupakan kerajaan jin yang diperintah oleh dua raksasa. Syekh Subakir, seorang penyebar agama Islam, datang ke daerah ini untuk berdakwah. Tidak rela atas kedatangan Syekh tersebut terjadilah perkelahian antara raja Jin melawan sang Syekh. Ternyata Raja Jin dapat dikalahkan oleh Syekh Subakir. Raja Jin dan istrinya kemudian melarikan diri ke Laut Selatan bergabung dengan Nyai Rara Kidul yang merajai laut Selatan. Sebelum lari Raja Jin bersumpah akan kembali ke Gunung Tidar kecuali rakyat didaerah ini rela menjadi pengikut Syekh Subakir.
Legenda ini sangat melekat bagi masyarakat tradisional Jawa, tidak sekedar di Magelang, tapi juga ke daerah-daerah lain di Jawa, bahkan sampai di Lampung dan mancanegara (Suriname). Hal ini karena telah disebutkan dalam jangka Joyoboyo dan mengalir secara tutur tinular menjadi kepercayaan masyarakat. Apalagi pemerintah kota Magelang menjadikan Tidar sebagai simbol atau maskot daerah dengan menempatkan gunung Tidar yang dilambangkan dengan gambar paku di dalam logo pemerintahan. Di samping itu nama-nama tempat begitu banyak menggunakan nama Tidar, seperti nama Rumah Sakit Umum Daerah, nama perguruan tinggi, nama terminal dll. Yang semuanya menguatkan gunung Tidar menjadi legenda abadi.
Konon ada semacam perjanjian antara
Sabdopalon sebagai Pamomong (Danyang Gaib) Tanah Jawa dengan Syeh
Subakir sebagai penyebar Agama Islam generasi awal di Jawa ini.
Tersebutlah kisah tersebut dalam tulisan lontar kuno. Lontar tersebut
diperkirakan ditulis oleh Kanjeng Sunan Drajad atau setidak – tidaknya
oleh murid atau pengikut beliau.
Cerita tentang kisah ini pernah
dipentaskan sebagai lakon wayang kulit bergenre wayang songsong (wayang
kulit yang berisi cerita hikayat dan legenda Jawa) yang digelar di Desa
Drajad, Paciran, Lamongan ( sebuah desa tempat situs Sunan Drajad ).
Kisah diawali dengan adanya persidangan
di Istana Kesultanan Turki Utsmania di Istambul yang dipimpin langsung
oleh Sultan Muhammad I. Persidangan kali ini membahas mimpi Sang Sultan.
Menurut Sultan Muhammad, beliu bermimpi mendapat perintah untuk
menyebarkan dakwah islamiah ke Tanah Jawa. Adapun mubalighnya haruslah
berjumlah sembilan orang. Jika ada yang pulang atau wafat maka akan
digantikan oleh ulama lain asal tetap berjumlah sembilan.
Maka dikumpulkanlah beberapa ulama
terkemuka dari seluruh dunia Islam waktu itu. Para ulama yang
dikumpulkan tersebut mempunyai spesifikasi keahlian masing-masing. Ada
yang ahli tata negara, ahli perubatan, ahli tumbal, dll. Titah dari
Baginda Sultan Muhammad kepada mereka adalah perintah untuk mendatangi
Tanah Jawa dengan tugas khusus yaitu penyebaran Agama Islam.
Dibawah ini adalah dialog antara
Sabdopalon dengan Syeh Subakir yang terjadi di atas Gunung Tidar. Syeh
Subakir adalah salah satu ulama yang diutus Sultan Muhammad untuk
menyebarkan Islam di Tanah Jawa ini. Adapun keahlian Syeh Subakir adalah
dalam bidang membuat danmemasang tumbal. Dialog yang penulis turunkan
ini adalah dialog versi imaginer yang penulis olah dari hikayat tersebut
dengan bahasa penulis sendiri.
Syeh Subakir : Kisanak, siapakah kisanak ini, tolong jelaskan.
Sabdopalon : Aku ini
Sabdopalon, pamomong (penggembala) Tanah Jawa sejak jaman dahulu kala.
Bahkan sejak jaman kadewatan (para dewa) akulah pamomong para kesatria
leluhur. Dulu aku dikenali sebagai Sang Hyang Ismoyo Jati, lalu dikenal
sebagai Ki Lurah Semar Bodronoyo dan sekarang jaman Majapahit ini namaku
dikenal sebagai Sabdopalon.
Syeh Subakir : Oh,
berarti Kisanak ini adalah Danyang (Penguasa) Tanah Jawa ini.
Perkenalkan Kisanak, namaku adalah Syeh Subakir berasal dari Tanah Syam
Persia.
Sabdopalon : Ada hajad apa gerangan Jengandiko (Anda) rawuh (datang) di Tanah Jawa ini ?
Syeh Subakir : Saya
diutus oleh Sultan Muhammad yang bertahta di Negeri Istambul untuk
datang ke Tanah Jawa ini. Saya tiadalah datang sendiri. Kami datang
dengan beberapa kawan yang sama-sama diutus oleh Baginda Sultan.
Sabdopalon : Ceritakanlah selengkapnya Kisanak. Supaya aku tahu duduk permasalahannya.
Syeh Subakir : Baiklah.
Pada suatu malam Baginda Sultan Muhammad bermimpi menerima wisik
(ilham). Wisik dari Hyang Akaryo Jagad, Gusti Allah Dzat Yang Maha Suci
lagi Maha Luhur. Diperintahkan untuk mengutus beberapa orang ‘alim ke
Tanah Jawa ini. Yang dimaksud orang ‘alim ini adalah sebangsa pendita,
brahmana dan resi di Tanah Hindu. Pada bahasa kami disebut ‘Ulama.
Sabdopalon : Jadi Jengandiko ini termasuk ngulama itu tadi ?
Syeh Subakir : Ya, saya
salah satu dari utusan yang dikirim Baginda Sultan. Adapun tujuan kami
dikirim kemari adalah untuk menyebarkan wewarah suci (ajaran suci),
amedar agama suci. Yaitu Islam.
Sabdopalon : Bukankah
Kisanak tahu bahwa di Tanah Jawa ini sudah ada agama yang berkembang
yaitu Hindu dan BudHa yang berasal dari Tanah Hindu ? Buat apa lagi
Kisanak menambah dengan agama yang baru lagi ?
Syeh Subakir : Biarkan
kawulo dasih (rakyat) yang memilih keyakinannya sendiri. Bukankah
Kisanak sendiri sebagai Danyangnya Tanah Jawa lebih paham bahwa sebelum
agama Hindu dan Budha masuk ke Jawa ini, disinipun sudah ada kapitayan
(kepercayaan) ? Kapitayan atau ‘ajaran’ asli Tanah Jawa yang berupa
ajaran Budhi ?
Sabdopalon : Ya, rupanya
Kisanak sudah menyelidiki kawulo Jowo disini. Memang disini sejak jaman
sebelum ada agama Hindu dan Budha, sudah ada ‘kapitayan’ asli.
Kapitayan adalah kepercayaan yang hidup dan berkembang pada anak cucu di
Nusantara ini.
Syeh Subakir : Jika berkenan, tolong ceritakan bagaimana kapitayan yang ada di Tanah Jawa ini.
Sabdopalon : Secara
ringkas Kepercayaan Jawa begini. Manusia Jawa sejak dari jaman para
leluhur dahulu kala meyakini ada Sang Maha Kuasa yang bersifat ‘tan keno
kinoyo ngopo’, tidak bisa digambarkan bagaimana keadaannya. Dialah
pencipta segala-galanya. Bawono Agung dan Bawono Alit. Jagad besar dan
jagad kecil. Alam semesta dan ‘alam manusia’. Wong Jowo meyakini bahwa
Dia Yang Maha Kuasa ini dekat. Juga dekat dengan manusia. Dia juga
diyakini berperilaku sangat welas asih.
Dia juga diyakini meliputi segala sesuatu
yang ada. Karena itu masyarakat Jawa sangat menghormati alam
sekelilingnya. Karena bagi mereka semuanya mempunyai sukma. Sukma ini
adalah sebagai ‘wakil’ dari Dia Yang Maha Kuasa itu.
Jika masyarakat Jawa melakukan pemujaan
kepada Sang Pencipta, mereka lambangkan dengan tempat yang suwung.
Suwung itu kosong namun sejatinya bukan kosong namun berisi SANG MAHA
ADA. Karena itu tempat pemujaan orang Jawa disebut Sanggar Pamujan. Di
salah satu bagiannya dibuatlah sentong kosong (tempat atau kamar kosong)
untuk arah pemujaan. Karena diyakini bahwa dimana ada tempat suwung
disitu ada Yang Maha Berkuasa.
Syeh Subakir : Nah
itulah juga yang menjadi ajaran agama yang kami bawa. Untuk memberi
ageman (pegangan atau pakaian) yang menegaskan itu semua. Bahwa
sejatinya dibalik semua yang maujud ini ada Sang Wujud Tunggal yang
menjadi Pencipta, Pengatur dan Pengayom alam semesta. Wujud tunggal ini
dalam bahasa Arab disebut Al Ahad. Dia maha dekat kepada manusia, bahkan
lebih dekat Dia daripada urat leher manusianya sendiri. Ajaran agama
kami menekankan budi pekerti yang agung yaitu menebarkan welas asih
kepada alam gumebyar, kepada sesama sesama titah atau makhluk.
Lihatlah Sang Danyang, betapa sudah
rusaknya tatanan masyarakat Majapahit sekarang. Bekas-bekas perang
saudara masih membara. Rakyat kelaparan. Perampokan dan penindasan ada
dimana-mana. Ini harus diperbaharui budi pekertinya.
Sabdopalon : Aku juga
sedih sebenarnya memikirkan rakyatku. Tatanan sudah bubrah. Para pejabat
negara sudah lupa akan dharmanya. Mereka salin sikut untuk merebutkan
jabatan dan kemewahan duniawi. Para pandito juga sudah tak mampu berbuat
banyak. Orang kecil salang tunjang (bersusah payah) mencari pegangan.
Jaman benar-benar jaman edan.
Syeh Subakir : Karena
itulah mungkin Sang Maha Jawata Agung menyuruh Sultan Muhammad Turki
untuk mengutus kami ke sini. Jadi, wahai Sang Danyang Tanah Jawa,
ijinkanlah kami menebarkan wewarah suci ini di wewengkon (wilayah)
kekuasaanmu ini.
Sabdopalon : Baiklah jika begitu. Tapi dengan syarat -syarat yang harus kalian patuhi.
Syeh Subakir : Apa syaratnya itu wahai Sang Danyang Tanah Jawa ?
Sabdopalon : Pertama,
Jangan ada pemaksaan agama, dharma atau kepercayaan. Kedua, Jika hendak
membuat bangunan tempat pemujaan atau ngibadah, buatlah yang wangun
(bangunan) luarnya nampak cakrak (gaya) Hindu Jawa walau isi dalamannya
Islam. Ketiga, jika mendirikan kerajaan Islam maka Ratu yang pertama
harus dari anak campuran. Maksud campuran adalah jika bapaknya Hindu
maka ibunya Islam. Jika bapaknya Islam maka ibunya harus Hindu. Keempat,
jangan jadikan Wong Jowo berubah menjadi orang Arab atau Parsi. Biarkan
mereka tetap menjadi orang Jawa dengan kebudayaan Jawa walau agamanya
Islam. Karena agama setahu saya adalah dharma, yaitu lelaku hidup atau
budi pekerti. Hati-hati jika sampai Orang Jawa hilang Jawanya, hilang
kepribadiannya, hilang budi pekertinya yang adiluhung maka aku akan
datang lagi. Ingat itu. Lima ratus tahun lagi jika syarat – syarat ini
kau abaikan aku akan muncul membuat goro-goro.
Syeh Subakir : Baiklah.
Syarat pertama sampai keempat aku setujui. Namun khusus syarat keempat,
betapapun aku dengan kawan-kawan akan tetap menghormati dan melestarikan
budaya Jawa yang adiluhung ini. Namun jika suatu saat kelak karena
perkembangan jaman dan ada perubahan maka tentu itu bukan dalam kuasaku
lagi. Biarlah Gusti Kang Akaryo Jagad yang menentukannya.
Memang susah untuk mengetahui keadaan,
asal usul atau gambaran kondisi sebuah masyarakat nun jauh ke masa lalu.
Semakin jauh masa itu, semakin gelap gambarannya. Namun, upaya-upaya
ahli sejarah dan lainnya untuk menguaknya patut dihargai. Paling tidak
ada sedikit gambaran yang mungkin bisa kita lihat, meski tidak
sepenuhnya benar seratus persen.
Beberapa naskah yang beredar mencoba menggambarkan hal itu. Seperti dalam Serat Jangka Syeh Subakir.
“Sampun sangang ewu warsa, inggih
wonten pulo ngriki, dedukuh ing hardi Tidar, saweg antuk sewu warsi,
langkung taun puniki, Syech Bakir gawok angrungu, dika niku wong napa,
napa ta ayekti janmi, umur dika dene ta kaliwat-liwat”
Yang artinya antara lain :
“Sudah 9000 tahun, ya (saya Semar) sudah
ada di pulau ini (Jawa), di pedusunan di Gunung Tidar, tapi baru 1000
tahun berjalan, di sini, Syech Subakir heran mendengarnya, engkau ini
makhluk apa, apa benar manusia? Kok usianya luar biasa?”
Demikian perkenalan Semar dengan Syech
Subakir. Selama ribuan tahun itu Semar bertapa di Gunung Merbabu dan
tidak mengetahui keadaan manusia di Jawa. Gambaran tentang kondisi Pulau
Jawa juga digambarkan dalam Serat tersebut penuh dihuni oleh demit,
jin, gendruwo bekasaan dan sejenisnya. Bahkan beberapa utusan dari
negeri Rum sebelum Syeh Subakir dimakan demit (Binadog demit). Dari
serat ini, ditegaskan bahwa Raja Rum mendapat petunjuk untuk mengisi
pulau Jawa : “jeng Sultan Rum kang winarni, angsal sasmitaning Sukma,
dinawuhan angiseni, manungsa pilo Jawi,…”
Syeh subakir mengambil orang-orang Keling
(?) untuk dibawa mengisi pulau Jawa, sebanyak 2 laksa (20000) keluarga.
Dari serat ini, maka yang mengisi (menjadi penghuni P. Jawa) adalah
dari bangsa Keling yang dibawa oleh Syeh Subakir. Padahal dalam naskah
itu pula, Semar adalah manusia.
“Sang Hyang Semar lon wuwusnya, gih
sumangga karsa Aji, sajatine gih kawula, lan kiraka tiyang Jawi, ing
kina prapteng mangkin, kawak daplak inggih ulun, wong Jawa kuna mula,
saderenga dika prapti, kula manggen Marbabu pucak haldaka”.
Namun, selama bertapa ribuan tahun itu
pula pulau Jawa sudah berubah isinya, bukan manusia seperti Semar,
tetapi sudah dikuasai oleh para demit.
Dalam SERAT JANGKA TANAH JAWI gambarannya
tidak beda jauh dengan serat Jangak Syeh Subakir, yaitu pertemuan
antara Semar dengan Syeh Subakir ketika memberi tumbal (mengusir) para
dedemit yang menguasai tanah Jawa. Dalam serat ini ada dialog yang
sebenarnya adalah bantahan anggapan bahwa tanah Jawa belum dihuni oleh
manusia, hanya oleh bangsa jin dan demit.
“Syekh Bakir lon angandika, sayrkti
ing tanah Jawi, pan durung ana manungsa, pan isih rupa wanadri, Hyang
Semar matur aris, kawula sajatosipun, ing kina makina, saderenging tuwan
prapti, hamba kalih dhedhukuh Rebabu arga”
Artinya :
Syeh Subakir berkata, sebenarnya di tanah
Jawa, belum ada manusia, masih berupa hutan. Hyang Semar menjawab
dengan lembut, hamba ini sebenarnya, di masa lalu, sebelum kedatangan
tuan, hamba berdua (Semar dan Togog) ini penghuni Jawa yang bertempat di
gunung Merbabu”.
Namun, dalam serat ini Semar sendiri
menjelaskan bahwa dia bukan manusia, tetapi keturunan dewa, Sang Yang
Tunggal atau Manikmaya. Agak sedikit berbeda memang dengan serat Jangka
Syeh Subakir. Namun pada intinya bahwa Semar dan Togog di masa lalu
adalah penghuni pulau Jawa. Apakah hanya mereka berdua? Tentu ini bisa
disinkronkan dengan sumber-sumber lain misalnya Babad Demak Pesisiran
yang menerangkan silsilah orang tua Syang Hyang Tunggal adalah Sang Yang
Wenang, putra dari Sang Yang Wening, putra dari Sang Yang Nurasa, putra
dari Sang Yang Nurcahyo atau Sayid Anwar, putra dari Nabi Sis. (dalam
versi lain, Sang Yang Wening dan Wenang adalah satu pribadi). Dalam
Serat Jangka Tanah Jawi, Semar adalah keturunan dari Nabi Sis (jika
digabungkan Babad Demak Pesisiran, karena anak dari Sang Yang Tunggal).
Namun, dalam Babad Demak Pesisiran, nama Semar tidak muncul sebagai anak
Sang Yang Tunggal. Di sinilah letak gelapnya lagi, Semar di satu sisi
mengaku anak Sang Yang Tunggal, namun dalam babad Demak Pesisiran, tidak
masuk. Demikian pula dalam Babad Tanah Jawa, Semar dan Togog itu
menjadi “penderek” Raden Palasara yang merupakan keturunan dari Sayid
Anwar. Dalam babad Tanah Jawa, Palasara merupakan cikal bakal leluhur
Jawa, dimana kemudian, Kurawa, Pandawa adalah bagian dari keturunannya
(ini menjadi terbalik, bahwa kisah mahabarata itu mulanya dari Jawa).
Dalam serat Babad Demak Pesisiran, Nabi
Ibrahim itu berbeda dengan Bathara Brhama. Nabi Ibrahim berada pada
garis silsilah Sayid Anwas (saudara Sayid Anwar). Batara Brahma adalah
keturunan dari Sayid Anwar.
Masa-masa gelap ini memang memunculkan
banyak versi mengenai leluhur Jawa. Buku lain, yaitu SEJARAH KAWITANE
WONG JAWA LAN WONG KANUNG menggambarkan : pertama jaman jamajuja
(puluhan ribu- buku ini ditulis pada tahun 1931) sudah ada manusia,
tetapi masih bertelanjang, seperti kera, hidupnya di gua-gua. Masih
dalam masa jamajuja periode 5000 tahun (sebelumnya) manusianya sudah
mengalami kemajuan, sudah memakai cawet dari dedaunan, sudah menempati
di luar gua. Mereka sudah berkumpul dalam sebuah komunitas. Masyarakat
ini disebut dengan masyarakat Lingga (Suku Lingga). Masa kuna (sebelum
masehi), orang-orang Sampit berhijrah ke Nusa Kendheng yang kemudian
disebut sebagai orang Jawa. Kata Jawa sendiri dirujukkan pada sebutan
Bantheng yang “gemati” penuh perhatian terhadap anaknya. Sebab bantheng
perempuan disebut Jawi, yang “gemati” kemudian disebut Jawa. Orang-orang
Sampit yang mengungsi ke Jawa ini kemudian membuat pertanda awal
sebagai orang Jawa, yaitu 230 tahun sebelum masehi (bukan saka). Tahun
itu disebut tahun Hwuning (pengingat). Tokoh pimpinan rombongan eksodus
ini namanya Khi Seng Dhang, yang kelak kemudian disebut Dhang Hyang
(Danyang). Mereka berasal dari Sampit yang keturunan dari suku Hainan.
Dari catatan ini, maka orang Jawa (dalam pengertian) pendatang baru yang
“gemati”, mau menghormati orang Lingga adalah 230 SM. Namun penduduk
Jawa asli, Suku Lingga kemudian bercampur dan kelak memenuhi Jawa.
Dengan demikian, mulainya peradaban Jawa
itu 230SM, karena adanya kebudayaan Hainan yang dibawa, sementara suku
Lingga yang masih tertinggal, hidup di gua, hutan dan bergantung pada
alam, belum disebut sebagai orang Jawa. Ini tentu berbeda dengan versi
Serat Jangka Syeh Subakir dan Serat Jangka Tanah Jawi. Jika kita lihat
kedatangan Syeh Subakir di tanah Jawa dari sumber lain, sekitar tahun
1404. Jika berasumsi bahwa sebelum tahun itu tanah Jawa tak ada
manusianya, maka akan muncul banyak persoalan, bagaimana dengan kerajaan
Singasari, Kediri dan lainnya yang sebelumnya ada? Tentu membaca SERAT
JANGKA SYEH SUBAKIR dan SERAT JANGKA TANAH JAWI ini tidak bisa
seleterlek ini. Mungkin butuh analisis simbol, semiotik, hermeneutik dan
lain sebagainya agar mendapat pemahaman yang lebih luas. Sebab SERAT
JANGKA itu pesan besarnya adalah mengenai “prediksi” masa depan Jawa
dalam periodisasi tertentu, bukan membahas asal usul bangsa Jawa.
So, masih terbuka lebar untuk penelitian
yang lebih jauh dan mendalam siapa sebenarnya leluhur orang Jawa di masa
lampau sekali. Tentu tidak akan ditemukan jawaban tunggal, sebab sebuah
masyarakat terdiri dari berbagai unsur, keluarga dan sebagainya, maka
akan dimungkinkan banyak versi.
Kembali lagi, bahwa kata Jawa itu bisa
diartikan “gemati”, perhatian, menghargai, menyayangi. Jadi siapapun
mereka bisa melakukan itu semua di pulau Jawa ini, akan menjadi leluhur
Jawa, entah dia dari belahan dunia manapun
No comments:
Post a Comment