Saturday, May 27, 2017

Mengenal Pulau Jawa

Masa Prasejarah
Budaya Jawa masa prasejarah ditandai dengan penemuan sejumlah bendabenda
purbakala. Di tanah Jawa zaman sejarah akan ditandai dengan adanya
prasasti yang pertama kalinya muncul berbentuk Prasasti Kampak atau dikenal
dengan namanya Perdikan Kampak (Hermansyah, 1979: 21). Pada zaman
Prasejarah, Trenggalek telah dihuni oleh manusia dengan bukti ditemukannya
benda-benda yang merupakan hasil zaman Nirloka. Dari hasil penelitian serta
lokasi benda-benda prasejarah tadi, dapatlah direkontruksi-kan, perjalanan
manusia-manusia pemula di daerah Trenggalek itu dalam beberapa jalur, yaitu:
jalur pertama, dari Pacitan menuju Panggul, perjalanan diteruskan ke Dongko,
dari Dongko menuju ke Pule kemudian menuju ke Karangan dari sini dengan
menyusuri sungai Ngasinan menuju ke Durenan. Kemudian manusia-manusia
Purba Trenggalek itu melanjutkan perjalanan ke Wajak, daerah Tulungagung.
Jalur kedua, berangkat dari Pacitan ke Panggul menuju Dongko, melalui
tanjakan Ngerdani turun ke daerah Kampak lalu ke Gandusari, dari sini perjalanan
dilanjutkan ke Tulungagung. Jalur ketiga, berangkat dari Pacitan menuju Panggul
menyusuri tepi Samudra Indonesia menuju Munjungan, diteruskan ke Prigi lalu ke
Wajak.
Demikian rekonstruksi perjalanan manusia-manusia prasejarah yang
berlangsung bolak-balik antara Pacitan dan Wajak. Jalur-jalur perjalanan tersebut

dapat dibuktikan dengan ditemukannya artefak zaman batu besar, seperti menhir,
mortar, batu saji, batu dakon, palinggih batu, lumpang batu dan sebagainya. Yang
kesemuanya benda-benda tadi tersebar di daerah-daerah bekas jalur-jalur lalu
lintas mereka itu. Van Heekeren menyatakan bahwa homowajakensis (manusia
purba wajak) hidup pada masa Plestosin atas, sedangkan peninggalan Pacitan
berkisar antara 8.000 sampai 35.000 tahun yang lalu. Akibatnya masa
megaliticum atau masa neoliticum itulah yang meliputi daerah Trenggalek purba.
Penemuan Fosil
Dari fosil-fosil yang ditemukan di Tulungagung pada tahun 1989 dan
1890, terbukti bahwa di sana telah dihuni oleh manusia sejak kurang lebih 40 – 50
ribu tahun yang lalu. Tempat penemuan tersebut di dukuh Creme, Desa Gamping
atau Campurdarat. Pada waktu itu daerah Campurdarat masih bernama distrik
Wajak. Oleh sebab itu fosil tersebut dinamakan fosil Homowajakensis. Pada tahun
1982 saat pembuatan saluran Lodagung di dukuh Creme juga ditemukan fosil lagi
dari kedalaman 2 meter. Sekitar 1 meter di atasnya diketemukan kerangka
manusia yang masih utuh dan memakai anting-anting berbentuk cakra seberat 12
gram. Namun karena terkena angin, kerangka tersebut hancur menjadi debu.
Hanya tinggal tengkoraknya yang sudah menjadi fosil. Setelah diteliti ternyata
tengkorak dari kedalaman 2 meter tadi diperkirakan hidup pada 25 ribu tahun
yang lalu. Sedang yang memakai anting-anting hidup kurang lebih 4 ribu tahun
silam.

Daerah Tulungagung banyak terdapat peninggalan sejarah purbakala.
Sekitar 63 buah peninggalan berupa benda bergerak dan tidak bergerak.
Tulungagung memiliki peninggalan purbakala terbanyak di daerah Karesidenan
Kediri. Di antara peninggalan tersebut 26 berupa prasasti, 24 diantaranya berupa
prasasti batu. Salah satunya adalah prasasti Lawadan karena terletak di desa
(thani) Lawadan yang sekarang diyakini bernama Wates Campurdarat. Prasasti
yang bertanggal 18 Nopember 1205, hari Jumat Pahing, dikeluarkan oleh Prabu
Srengga raja terakhir kerajaan Daha. Raja tersebut terkenal dengan nama Prabu
Dandanggendis. Prasasti tersebut berisi pemberian keringanan pajak dan hak
istimewa semacam bumi perdikan atau sima. Alasan pemberian hadiah tersebut
adalah karena jasa prajurit Lawadan yang sudah memberikan bantuan kepada
kerajaan mengusir musuh dari Timur sehingga raja yang tadinya telah
meninggalkan kraton dapat kembali berkuasa.
Prasasti lain adalah prasasti di desa Mula dan Malurung, yang menyebut
nama desa Kalangbret. Meskipun prasasti tersebut tidak terdapat di Tulungagung
namun menyebutkan Wilayah di Tulungagung. Isinya berupa puji-pujian kepada
dewa Syiwa. Raja yang disebut-sebut adalah Sri Maharaja Semingrat nama
lainnya adalah Wisnuwardana. Prasasti tersebut dikeluarkan pada 15 Desember
1256 M (Rebo Legi). Isinya menetapkan Desa Mula dan Malurung menjadi Sima
(perdikan) karena loyalitas seorang pejabat bernama Pranaraja berhasil memimpin
membuat tempat berbakti kepada nenek buyut prabu Seminingrat atau
Wisnuwardana di Kalangbret menyebutkan tempat tersebut diulangi pada kakawin

Negarakretagama Kalangbret, tempat tersebut adalah tempat suci bagi leluhur raja
Hayam Wuruk dari Majapahit.
Kalangbret menjadi nama salah satu desa di Kecamatan Kauman 5 km
sebelah barat kota Tulungagung. Pada jaman Mataram Islam, yaitu jaman Sri
Pakubuwana I dan VOC tahun 1709 mengadakan perjanjian bahwa nama
Kalangbret tetap digunakan sebagai ibukota kabupaten Ngrowo. Begitu juga pada
perjanjian Giyanti (1755) nama Kalangbret disebut salah satunya wilayah
mancanegaranya kerajaan Yogyakarta. Juga menjadi nama distrik atau kawedanan
atau wilayah pembantu Bupati Tulungagung.
Berdasarkan uraian tadi maka tidak benar kalau Kalangbret akronim
Adipati Kalang yang disembret-sembret oleh Patih Gajah Mada seperti disebut
dalam buku Tulungagung Dalam Sejarah dan Babad. Di samping hal tersebut
juga pernah diketemukan prasasti yang disebut prasasti Sidorejo dan Biri. Nama
Biri berubah menjadi Wiri dan diyakini menjadi nama Cu-Wiri. Kalangbret
sebagai kadipaten Mancanegara Mataram terbentuk sejak perjanjian Giyanti.
Selanjutnya dijadikan ibukota kabupaten Ngrowo tahun 1775 – 1824 Masehi,
yaitu pada masa Mataram Islam dan zaman kolonial. Bupati pertama Kabupaten
Ngrowo adalah Kyai Ngabehi Mangundirono. Nama Kalangbret telah dikenal
sejak tahun 1255 M (prasasti Mula-Manurung) dan disebut ulang dalam
Negarakretagama (1635 M) dengan nama Kalangbret.
Katumenggungan Wajak berdiri pada masa pemerintahan Sultan Agung
sampai dengan pembentukan kadipaten Ngrowo dengan pusat pemerintahan di
Wajak sejak perjanjian Giyanti. Ini terjadi antara tahun 1615 – 1709 M pada masa

Mataram Islam dan masa kolonial. Yang menjadi bupati Tulungagung I adalah
Senapati Mataram bernama Surontani. Beliau dimakamkan di Desa Wajak Kidul,
Boyolangu. Sedangkan Surontani III (Kertoyudo) dimakamkan di desa Tanggung
Campurdarat. Katumenggungan Wajak berakhir dengan berdirinya Kabupaten
Ngrowo yang beribu kota di Kalangbret. Nama Rowo telah dikenal sejak tahun
1194 M (Prasasti Kemulan) dan disebut ulang dalam Negarakretagama (1365 M).
Nama ini kemudian berubah menjadi Ngrowo.
Kebudayaan Jawa asli berbentuk animisme dan dinamisme. Animisme
adalah sistem kepercayaan yang me-yakini adanya ruh-ruh nenek moyang.
Sedangkan dinamisme adalah kepercayaan yang meyakini adanya kekuatan gaib
pada benda-benda keramat. Modernisasi itu sendiri seringkali sinonim dengan
kebudayaan modern, dengan kehadirannya yang melibatkan berbagai ranah
budaya, semisal budaya pikir. Harun (1994) menjelaskan betapa budaya pikir
inilah yang terpenting dalam diskursus budaya modern berhubung dengan
keterjalinannya yang niscaya atas budaya Iptek. Oleh sebab itu akan disayangkan
apabila ternyata banyak kalangan masyarakat tak terkecuali kaum elitnya tidak
memahami perbedaan antara teknik dan teknologi. Dalam kedua jilid buku
“Teknologi dan Dampak Kebudayaannya” (1985) Mangunwijaya mengajak
pembaca merenungkan lebih jauh filsafat apa yang sesungguhnya mengejawantah
dalam benda-benda teknologi serta proses sosial dan tuntutan mentalitasnya.
Berkaitan dengan hal tersebut maka usaha untuk menjaga keagungan
budaya harus terus dilakukan. Di antara tokoh pelestari budaya Jawa adalah Ki
Panut Darmoko. Bagi masyarakat penggemar pedalangan, nama Ki Panut

Darmoko sungguh sangat familiar. Beliau memang seniman kawentar, misuwur
dan kaloka. Mulai dari perkotaan, pedesaan dan pegunungan banyak yang
mempunyai kesan dan rekaman tentang sejarah kehidupannya. Dalam melakukan
aktivitas pedalangan beliau setia pada pakem. Ki Panut lahir pada hari Rabu
Kliwon, tanggal 10 September 1931. Dengan demikian beliau mengalami hidup
tiga jaman, yaitu jaman Belanda, jaman Jepang dan jaman kemerdekaan.

KEBUDAYAAN HINDU DI TANAH JAWA
Prasasti Mantyasih
Kerajaan Mataram Hindu pernah memimpin peradaban di tanah Jawa
dengan mewariskan peradaban luhur dan agung. Sumber penulisan sejarah
Mataram Kuno yaitu Prasasti Mantyasih di Kedu yang diterbitkan pada masa
Rakai Watukumara Dyah Balitung yang berangka tahun 907. Warisan tulisan
sejarah ini merupakan dokumen penting demi penyusunan sejarah. Dalam konteks
sejarah ini Paul Michel Munoz (2006) telah memberi deskripsi tentang kerajaankerajaan
Awal Kepulauan Indonesia.
Penemuan Prasasti Mantyasih menjadi bukti bahwa masyarakat Jawa kuno
terlalu peduli pada soal-soal dokumentasi dan kearsipan. Dalam prasasti ini
menyebutkan para raja Mataram Kuno yaitu: Sri Maharaja Rakai Ratu Sanjaya
(732–760), Sri Maharaja Rakai Panangkaran (760–780), Sri Maharaja Rakai
Pananggalan (780–800), Sri Maharaja Rakai Warak (800–820), Sri Maharaja
Rakai Garung (820–840), Sri Maharaja Rakai Pikatan (840–856), Sri Maharaja
Rakai Kayuwangi (856–882), Sri Maharaja Rakai Watuhumalang (882–899), Sri
Maharaja Rakai Watukumara Dyah Balitung (898–915), Sri Maharaja Rakai
Daksa (915– 919), Sri Maharaja Rakai Tulodhong (919–921), Sri Maharaja Rakai
Wawa (921–928), Sri Maharaja Rakai Empu Sindok (929–930).
Sri Maharaja Rakai Panangkaran, pemerintah Mataram Hindu pada tahun
760–780 Rakai Panangkaran berarti raja mulia yang selalu berhasil

mengembangkan potensi wilayahnya. Panangkaran berasal dari kata Tangkar,
yang berarti berkembang. Dia memang berhasil mewujudkan cita-cita
Ayahandanya, Sri Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya. Mataram Hindu kemudian
diperintah oleh Sri Maharaja Rakai Pananggalan (780–800). Rakai Pananggalan
berarti raja mulia yang sangat peduli terhadap siklus perjalanan waktu.
Pananggalan berasal dari kata tanggal. Dia memang berjasa terhadap sistem
kalender Jawa Kuno.
Penggantinya bernama Sri Maharaja Rakai Warak (800–820). Rakai
Warak berarti raja mulia yang amat peduli pada cita-cita luhur. Dia memang
bertekad bulat untuk meneruskan kejayaan nenek moyangnya. Dinasti Hindu
lantas dipimpin oleh Sri Maharaja Rakai Garung (820–840). Garung berarti raja
mulia yang tahan banting terhadap segala macam rintangan. Demi kemakmuran
rakyatnya, Rakai Garung mau bekerja siang malam. Kekuasaan Mataram Hindu
dilanjutkan oleh Sri Maharaja Rakai Pikatan (840–856). Pada tahun 850 prasasti
Tulang Air di Candi Perut menyebutkan bahwa Rakai Pikatan bergelar Ratu. Pada
masa pemerintahan Rakai Pikatan ini kerajaan Mataram Hindu mencapai masa
kemakmuran dan kemajuan. Dinasti Sanjaya menjadi gemilang dan harum
namanya. Bahasa sanskerta pada saat itu menjadi bahasa pengantar ilmu
pengetahuan yang sangat bergengsi (Zoetmulder, 1985).
Prasasti Ratu Baka
Prasasti Ratu Baka mengatakan bahwa Rakai Pikatan sangat
memperhatikan keamanan dan ketertiban negara. Tatkala pasukan dari dinasti

Balaputra Dewa menyerang wilayahnya, Rakai Pikatan tetap dapat
mempertahankan kedaulatannya. Bahkan bala tentara penyerang dapat dipukul
mundur dan melarikan diri ke Palembang Sumatera Selatan. Rakai Pikatan bisa
melakukan suksesi secara damai. Dia lengser keprabon madeg pandhita.
Kekuasaannya diserahkan secara konstitusional kepada Rakai Kayuwangi tahun
856. Rakai Pikatan atau Prabu Jatiningrat benar-benar ahli dalam kenegaraan dan
pemerintahan. Bersama permaisurinya, Pramodha Wardhani, putra raja
Samaratungga, Rakai Pikatan mencapai masa keemasan (Djoko Dwiyanto, 2003).
Rakai Pikatan memerintah Kerajaan Mataram Hindu sekitar tahun 998
Çaka atau 856 Masehi. Istrinya adalah putri Raja Samaratungga yang bernama
Pramodha Wardhani. Pada zaman pemerintahan Rakai Pikatan itu dibangun Candi
Prambanan atau Candi Roro Jonggrang. Prasasti yang mengungkapkan tentang
Candi Prambanan yaitu Prasasti Siwagraha yang berangka tahun 778 Çaka atau
856 Masehi, yang dikeluarkan oleh Rakai Pikatan (Moertjipto & Bambang
Prasetyo, 1994: 30). Sekarang prasasti itu disimpan di Musium Pusat Jakarta.
Nama Rakai Pikatan juga disebut dalam Prasasti Mantyasih. Begitu terkenalnya,
Rakai Pikatan mendapat julukan Jatiningrat. Pada masa ini disusun kitab
Ramayana yang telah disesuaikan dengan kebudayaan Jawa (Poerbatjaraka,
1964).
Dalam prasasti Siwagraha disebutkan bahwa Rakai Kayuwangi pada tahun
856 mendapat gelar Sang Prabu Dyah Lokapala. Loka berarti tempat, pala berarti
buah. Apa saja akan berbuah kebaikan di tempat sang Prabu Dyah Lokapala.
Rakai Kayuwangi ibarat pohon kayu cendana yang harum, semerbak mewangi ke

kanan dan ke kiri. Perjuangan Rakai Kayuwangi pada negaranya memang telah
dicatat dalam prasasti Wuatan Tija pada tahun 880. Tugas utama seorang raja
menurut Rakai Kayuwangi adalah memakmurkan, mencerdaskan, dan melindungi
keselamatan warga negaranya. Raja harus mau berkorban demi rakyatnya.
Pengganti Rakai Kayuwangi adalah Rakai Watuhumalang (Djoko Dwiyanto,
2003).
Perjuangan Rakai Kayuwangi diteruskan oleh Rakai Watuhumalang. Pada
tahun 907 prasasti Kedu mencatat dengan ukiran indah mengenai prasasti
cemerlang Rakai Watuhumalang. Prasasti Panunggalan pada tahun 896 memberi
penghargaan yang tinggi kepada Rakai Watuhumalang. Dia dianugerahi gelar
Prabu Haji Agung, yang berarti raja diraja besar yang mumpuni. Dalam prasasti
Mantyasih Kedu disebutkan bahwa tahun 907 keagungan dan keanggunan Rakai
Watuhumalang ini dilanjutkan oleh Rakai Watukumara Dyah Balitung. Ruparupanya
saat itu proses pergantian kepemimpinan sudah dapat berlangsung secara
beradab (Djoko Dwiyanto, 2003).
Pada masa pemerintahan Balitung ada seorang teknokrat intelektual yang
bernama Daksottama. Dia adalah konseptor pemerintahan yang handal dan
tangguh, sehingga pemikirannya sangat mempengaruhi gagasan Sang Prabu Dyah
Balitung. Dinasti Tang (618–906) dari Cina bekerja sama dengan Raja Balitung
dengan membuat proyek terjemahan kitab Ta-Teo-Kan-Hung. Memang raja
Balitung sangat gemar akan sastra, bahasa, seni dan budaya. Unsur
profesionalitas, kapasitas, dan integritas amat diperlukan oleh Raja Balitung

dalam mengelola pemerintahan. Kelak Daksottama itu menggantikan
kepemimpinan Dyah Balitung (Djoko Dwiyanto, 2003).
Dyah Balitung adalah maharaja dari kraton Mataram Kuno yang bertahta
tahun 898–910. Dia masih keturunan Wangsa Syailendra, sebuah dinasti yang
terkenal karena telah berhasil dalam mengembangkan seni, bahasa, budaya dan
ilmu pengetahuan (Zoetmulder, 1985). Salah satu karya sastra dari Dinasti
Syailendra ini adalah Kitab Candha Karana, sebuah buku yang ditulis di atas
daun rontal, berisi tentang ajaran moral, seni tembang, tata bahasa dan kamus.
Pada tahun 700 Çaka, Wangsa Syailendra membangun Candi Kalasan. Pada tahun
782–872 dibangunlah sebuah candi megah nan indah, yaitu Candi Prambanan
yang reliefnya memuat kisah Ramayana.
Raja Balitung sendiri aktif dalam berolah cipta karya yang berusaha
mengembangkan kemajuan masyarakat. Hal ini merupakan prestasi sang raja yang
bersedia menyeimbangkan kebutuhan material dan spiritual. Keterlibatan Raja
Balitung dalam kreativitas dan sosialisasi cerita Bima Kumara dan Ramayana
sangat dominan. Pada masa raja Balitung pula ditulis Prasasti Kedu atau
Mantyasih yang berangka tahun 907. Prasasti ini memuat secara lengkap silsilah
raja Mataram Kuno:
“Rahyang ta rumuhun ri medang ri poh pitu, Rakai Mataram Sang Ratu
Sanjaya, Sri Maharaja Rakai Panangkaran, Sri Maharaja Rakai
Panunggalan, Sri Maharaja Rakai Warah, Sri Maharaja Rakai Garung, Sri
Maharaja Rakai Pikatan, Sri Raja Rakai Kayuwangi, Sri Maharaja Rakai
Watuhumalang, dan kemudian disusul oleh raja yang sedang memerintah
yaitu Sri Maharaja Rakai Watukumara Dyah Balitung Dharmodaya
Makasambhu (Moertjipto & Bambang Prasetyo, 1994: 34).

Empu Yogiswara adalah pengarang Kakawin Ramayana pada tahun 825
Çaka atau 903 Masehi. Beliau hidup pada masa pemerintahan Dyah Balitung
tahun 820-832 Çaka atau 898–910 Masehi. Kakawin Ramayana merupakan
terjemahan karya sastra ciptaan pujangga Hindu, Walmiki, pada permulaan
masehi. Kitab Ramayana terdiri dari 7 kandha dan 24.000 seloka. Ketujuh kandha
dalam Kakawin Ramayana tersebut adalah sebagai berikut: Bala Kandha, berisi
cerita tentang Prabu Dasarata, raja di negeri Kosala yang beribukota di Ayodya.
Dalam Lakon Sayembara Widekadirja atau Sayembara Mantili, Dewi Sinta, putri
Prabu Janaka disunting oleh Rama. Ayodya Kandha, berisi kisah Rama, Sinta dan
Lesmana yang disingkirkan di hutan Dandaka (Lakon Rama Tundhung). Aranya
Kandha, berisi kisah Sinta yang diculik Rahwana (Lakon Rama Gandrung).
Sundara Kandha, berisi tentang cerita kepahlawanan Anoman yang berhasil
berjumpa dengan Dewi Sinta di Alengka (Lakon Anoman Duta).
Kiskendha Kandha, berisi kisah tentang bala tentara Rama yang
menyeberangi samudra untuk menuju ke Alengka (Lakon Rama Tambak). Yudha
Kandha, berisi kisah peperangan antara tentara Alengka dengan tentara Rama,
yang berakhir dengan kembalinya Rama Sinta ke Ayodya (Lakon Brubuh
Alengka). Uttara Kandha, berisi kisah Rama Sinta setelah kembali ke Ayodya.
Rakyat Ayodya menyangsikan kesucian Sinta lagi. Untuk membuktikan kesucian
Sinta maka dilakukan pembakaran atas diri Sinta (Sinta Obong) (Haryanto, 1988:
229).
Kejayaan Mataram Hindu berlanjut pada masa pemerin-tahan Sri Maharaja
Rakai Daksottama (915–919). Rakai Daksottama memang sengaja dipersiapkan

oleh Raja Balitung untuk menggantikannya sebagai raja Mataram Hindu. Sebelum
memangku jabatannya, dia dididik secara intensif oleh Raja Balitung. Berbagai
jabatan strategis telah dipegang oleh Daksottama. Posisi-posisi penting dalam
pemerintahan dijalani oleh Daksottama sebagai bekal untuk melanjutkan estafet
kepemimpinan. Seluk beluk birokrasi benar-benar dia kuasai. Kesungguhan dan
kerja keras Daksottama memang sesuai benar dengan namanya. Daksottama atau
Daksa Utama yang berarti seorang pemimpin yang utama dan istimewa.
Rakai Layang Dyah Tulodhong menggantikan kepemimpinan Rakai
Daksottama. Prasasti Poh Galuh menyebutkan bahwa Rakai Layang Dyah
Tulodhong pada tahun 890 pernah mengabdikan dirinya untuk masyarakat. Karir
politik Dyah Tulodhong dimulai dari jabatan yang paling bawah. Dengan tekun
akhirnya dia mencapai posisi struktural yang paling tinggi. Dia mengenal betul
strategi teritorial. Pemahaman atas strategi teritorial, membuat Dyah Tulodhong
mendapat dukungan yang luas dari daerah-daerah. Seluruh penjuru kerajaan
Mataram mengenal sosok handal, yaitu Dyah Tulodhong yang memerintah tahun
919-921.
Pada tahun 921 Rakai Sumba Dyah Wawa dinobatkan menjadi Raja
Mataram. Dia terkenal sebagai raja yang ahli diplomasi, sehingga sangat terkenal
dalam kancah politik internasional. Dyah Wawa juga mempunyai strategi suksesi
dengan sistem magang. Empu Sindok yang mempunyai integritas dan moralitas
dibina oleh Raja Wawa untuk dipersiapkan sebagai calon pemimpin Mataram.
Empu Sindok diangkat oleh Raja Wawa sebagai Rakryan Mahamantri I Hino,
sebuah jabatan yang prestis dan strategis. Empu Sindok diterima oleh semua

kalangan. Sebelumnya dia menjabat sebagai Rakryan Mahamantri I Halu. Dari
jabatan daerah (I Halu) menuju jabatan pusat (I Hino). Pada masa inilah nantinya
kekuasaan Mataram Hindu yang berlokasi di Jawa Tengah kemudian pindah ke
wilayah Jawa Timur. Babak baru dalam sejarah kebudayaan Jawa.

PERKEMBANGAN AGAMA BUDHA
Samaratungga
Samaratungga adalah raja Mataram Kuno dari Dinasti Syailendra,
penganut agama Budha Mahayana. Raja Samara-tungga ini mempunyai karya
monumental, yaitu Candi Borobudur. Istilah Borobudur berasal dari kata bara =
biara, budur = tinggi. Bangunan Candi Borobudur terdiri dari tiga bagian yaitu:
kamadhatu, rupadhatu, dan arupadhatu (Damardjati Supadjar, 1993).
Kamadhatu merupakan alam bawah, tempat bersema-yamnya manusia
lumrah. Secara simbolis mengandung arti tingkat manusia dalam usia kanakkanak,
yang masih tergoda oleh kesenangan duniawi, bermain-main, hedonis
rekreatif, dan egoistis. Rupadhatu, merupakan alam antara tempat bersemayamnya
manusia yang sudah mencapai tingkat kedewasaan. Manusia yang bertanggung
jawab, sungguh-sungguh berusaha untuk mencapai cita-cita, seimbang, dan
humanistik. Arupadhatu, merupakan alam atas tempat bersemayamnya manusia
yang telah mencapai kesempurnaan hidup, insan kamil, makrifat dan waskitha
ngerti sadurunge winarah.
Candi Borobudur terletak di Magelang dengan dikelilingi Gunung Merapi,
Merbabu, Sumbing, Sindoro dan Menoreh. Di dekat juga terdapat Candi Pawon,
Candi Mendut dan Candi Sewu. Ketiga candi ini adalah warisan Dinasti
Syailendra yang memerintah antara tahun 778 – abad 10 di Jawa Tengah. Dinasti

Syailendra berasal dari India. Paham ajaran budha ini juga berlanjut pada masa
kerajaan Majapahit (Slamet Mulyono, 1979).
Sri Kahulunan
Putri Samaratungga yang terkenal cerdas dan cantik jelita adalah Pramodha
Wardhani. Pramodha Wardhani juga bergelar Sri Kahulunan, artinya seorang
sekar kedhaton yang menjadi tumpuan harapan bagi rakyat. Pramodha Wardhani
kelak menjadi permaisuri raja Rakai Pikatan. Pasangan suami istri ini sangat
legendaris di mata rakyat Jawa. Kehar-monisannya membuat rakyat Mataram
bertambah aman dan damai. Hanya saja, adik Pramodha Wardhani yang bernama
Balaputra Dewa kurang terkenal. Akhirnya dia merantau ke Sumatra dan
mendirikan kerajaan Palembang.
Balaputra Dewa adalah putra Raja Samaratungga yang beragama Budha.
Ibunya bernama Dewi Tara. Prasasti Ratu Baka tahun 856 menyebutkan bahwa
telah terjadi perebutan kekuasaan yang merupakan tuntutan atas tahta kerajaan di
Jawa Tengah dari Balaputra Dewa terhadap Rakai Pikatan. Adapun yang menjadi
sebab tuntutan tersebut kemungkinan besar ialah Balaputra merasa irihati melihat
kekuasaan dan pengaruh Rakai Pikatan di Jawa Tengah setelah Samaratungga
wafat.
Karena Rakai Pikatan berasal dari dinasti Sanjaya, maka Balaputra tidak
setuju. Balaputra merasa berhak atas tahta kerajaan di Jawa Tengah, karena dia
anak laki-laki Samaratungga yang berdarah Syailendra. Dalam peperangan
tersebut pihak Balaputra mengalami kekalahan, tetapi dia tidak terbunuh dan

dalam posisi diburu oleh Rakai Pikatan. Kemudian ia melarikan diri ke Sumatra,
akhirnya ia menjadi raja di Sriwijaya (Djoko Dwiyanto, 2003). Balaputra Dewa
akhirnya bermukim di Palembang. Dia mendirikan Kerajaan Sriwijaya. Sengketa
di Tanah Jawa berakhir dengan jaya di Swarnadwipa. Sriwijaya pun kelak dapat
tampil sebagai kerajaan maritim yang gemilang dan kondang.

No comments:

Post a Comment