Sejarah Singkat Wayang
Wayang dikenal oleh bangsa Indonesia sudah sejak 1500 th. sebelum Masehi, karena nenek
moyang kita percaya bahwa setiap benda hidup mempunyai roh/jiwa, ada yang baik dan ada
yang jahat. Agar tidak diganggu oleh roh jahat, maka roh-roh tersebut dilukis dalam bentuk
gambaran (gambar ilusi) atau bayangan (wewayangan/wayang ), disembah dan diberi sesajen
yang kemudian dikenal kemudian dengan kepercayaan Animisme.
Kepercayaan nenek moyang kita demikian berlangsung lama, tetapi dengan kedatangan
A-gama Hindu kepercayaan baru yang datang dari India termasuk juga adat dan budayanya,
maka gambaran ( gambar ilusi ) Roh, berubah fungsinya. Dahulunya untuk disembah
kemudian berubah menjadi alat peraga untuk menyampaikan ajaran-ajaran agama. Hal
demikian kelak ditiru oleh Sunan Kalijaga ( R.M. Said ) salah satu Wali Songo untuk
menyebarkan dan mengembang kan ajaran Islam di Indonesia, meskipun disana-sini
disisipkan ajaran-ajaran filsafat dan agama Islam, seperti “Jimat Kalimusodo” yang dimaksud
adalah dua kalimat syahadat. Demikian pula variasi-variasi ceritanya selain cerita Mahabarata
dan Ramayana, masih banyak cerita-cerita yang diadopsi dari cerita-cerita Panji, cerita Menak
yang berkembang pada masa Kesultanan Ngayogjakarta Hadiningrat.
Perkembangan bentuk wayang juga menga lami perkembangan ragamnya, yakni mulai dari
rumput, kulit kayu, kulit binatang ( wayang kulit ), wayang lukisan kain ( wayang beber ) dlsb.
Wayang bukan hanya sekedar tontonan tetapi juga tuntunan dalam kehidupan untuk
mencapai kebahagiaan baik di dunia maupun di akherat dalam tingkat kesempurnaan abadi,
sehingga tokoh-tokoh di pewayangan di identikkan dengan sifat-sifat manusia dan alam
didalam kehidupan sehari-harinya. Dalam cerita pewayangan banyak ditemukan
falsafah-falsafah hidup dan sering dijadikan kajian ilmiah oleh peneliti-peneliti dan
Mahasiswa-mahasiswa baik didalam maupun diluar negeri, belajar dan mendalami wayang di
Indonesia.
moyang kita percaya bahwa setiap benda hidup mempunyai roh/jiwa, ada yang baik dan ada
yang jahat. Agar tidak diganggu oleh roh jahat, maka roh-roh tersebut dilukis dalam bentuk
gambaran (gambar ilusi) atau bayangan (wewayangan/wayang ), disembah dan diberi sesajen
yang kemudian dikenal kemudian dengan kepercayaan Animisme.
Kepercayaan nenek moyang kita demikian berlangsung lama, tetapi dengan kedatangan
A-gama Hindu kepercayaan baru yang datang dari India termasuk juga adat dan budayanya,
maka gambaran ( gambar ilusi ) Roh, berubah fungsinya. Dahulunya untuk disembah
kemudian berubah menjadi alat peraga untuk menyampaikan ajaran-ajaran agama. Hal
demikian kelak ditiru oleh Sunan Kalijaga ( R.M. Said ) salah satu Wali Songo untuk
menyebarkan dan mengembang kan ajaran Islam di Indonesia, meskipun disana-sini
disisipkan ajaran-ajaran filsafat dan agama Islam, seperti “Jimat Kalimusodo” yang dimaksud
adalah dua kalimat syahadat. Demikian pula variasi-variasi ceritanya selain cerita Mahabarata
dan Ramayana, masih banyak cerita-cerita yang diadopsi dari cerita-cerita Panji, cerita Menak
yang berkembang pada masa Kesultanan Ngayogjakarta Hadiningrat.
Perkembangan bentuk wayang juga menga lami perkembangan ragamnya, yakni mulai dari
rumput, kulit kayu, kulit binatang ( wayang kulit ), wayang lukisan kain ( wayang beber ) dlsb.
Wayang bukan hanya sekedar tontonan tetapi juga tuntunan dalam kehidupan untuk
mencapai kebahagiaan baik di dunia maupun di akherat dalam tingkat kesempurnaan abadi,
sehingga tokoh-tokoh di pewayangan di identikkan dengan sifat-sifat manusia dan alam
didalam kehidupan sehari-harinya. Dalam cerita pewayangan banyak ditemukan
falsafah-falsafah hidup dan sering dijadikan kajian ilmiah oleh peneliti-peneliti dan
Mahasiswa-mahasiswa baik didalam maupun diluar negeri, belajar dan mendalami wayang di
Indonesia.
Asal Usul Wayang
Wayang merupakan salah satu puncak seni budaya bangsa Indonesia yang paling menonjol di
antara banyak karya budaya lainnya. Budaya wayang meliputi seni peran, seni suara,
seni musik, seni tutur, seni sastra, seni lukis, seni pahat, dan juga seni perlambang. Budaya
wayang, yang terus berkembang dari zaman ke zaman, juga merupakan media penerangan, dakwah,
pendidikan, hiburan, pemahaman filsafat, serta hiburan. Menurut penelitian para ahli sejarah kebudayaan, budaya wayang merupakan budaya asli Indonesia, khususnya di Pulau Jawa. Keberadaan wayang
sudah berabad-abad sebelum agama Hindu masuk ke Pulau Jawa. Walaupun cerita wayang
yang populer di masyarakat masa kini merupakan adaptasi dari karya sastra India, yaitu Ramayana dan
Mahabarata. Kedua induk cerita itu dalam pewayangan banyak mengalami pengubahan dan penambahan
untuk menyesuaikannya dengan falsafah asli Indonesia. Penyesuaian konsep filsafat ini juga menyangkut pada pandangan filosofis masyarakat Jawa terhadap kedudukan para dewa dalam pewayangan. Para dewa dalam pewayangan bukan lagi merupakan sesuatu yang bebas dari salah, melainkan seperti juga makhluk Tuhan lainnya, kadang-kadang bertindak keliru, dan bisa jadi khilaf. Hadirnya tokoh panakawan dalam
pewayangan sengaja diciptakan para budayawan Indonesia (tepatnya budayawan Jawa) untuk memperkuat konsep filsafat bahwa di dunia ini tidak ada makhluk yang benar-benar baik, dan yang benar-benar jahat. Setiap makhluk selalu menyandang unsur kebaikan dan kejahatan. Alasan mereka cukup kuat. Di antaranya, bahwa seni wayang masih amat erat kaitannya dengan keadaan sosiokultural dan religi bangsa Indonesia, khususnya orang Jawa.
Panakawan, tokoh terpenting dalam pewayangan, yakni Semar, Gareng, Petruk, Bagong,
hanya ada dalam pewayangan Indonesia, dan tidak di negara lain. Selain itu, nama dan istilah
teknis pewayangan, semuanya berasal dari bahasa Jawa (Kuna), dan bukan bahasa lain.
Sementara itu, pendapat kedua menduga wayang berasal dari India, yang dibawa bersama
dengan agama Hindu ke Indonesia. Mereka antara lain adalah Pischel, Hidding, Krom,
Poensen, Goslings dan Rassers. Sebagian besar kelompok kedua ini adalah sarjana Inggris, negeri Eropa yang pernah
menjajah India.Namun, sejak tahun 1950-an, buku-buku pewayangan seolah sudah sepakat
bahwa wayang memang berasal dari Pulau Jawa, dan sama sekali tidak diimpor dari negara lain.Budaya wayang diperkirakan sudah lahir di Indonesia setidaknya pada zaman pemerintahan Prabu Airlangga, raja
Kahuripan (976 -1012), yakni ketika kerajaan di Jawa Timur itu sedang makmur-makmurnya. Karya sastra
yang menjadi bahan cerita wayang sudah ditulis oleh para pujangga Indonesia, sejak abad X.
Antara lain, naskah sastra Kitab Ramayana Kakawin berbahasa Jawa Kuna ditulis pada masa pemerintahan raja Dyah Balitung (989-910), yang merupakan gubahan dari Kitab Ramayana karangan pujangga India,
Walmiki. Selanjutnya, para pujangga Jawa tidak lagi hanya menerjemahkan Ramayana dan Mahabarata
ke bahasa Jawa Kuna, tetapi menggubahnya dan menceritakan kembali dengan memasukkan falsafah Jawa kedalamnya. Contohnya, karya Empu Kanwa Arjunawiwaha Kakawin, yang merupakan gubahan yang berinduk pada Kitab Mahabarata. Gubahan lain yang lebih nyata bedanya derigan cerita asli versi India, adalah Baratayuda Kakawin karya Empu Sedah dan Empu Panuluh. Karya agung ini dikerjakan pada masa pemerintahan Prabu Jayabaya, raja Kediri (1130 – 1160). Wayang sebagai suatu pergelaran dan tontonan pun sudah dimulai ada sejak zaman pemerintahan raja Airlangga . Beberapa prasasti yang dibuat pada masa itu antara lain sudah menyebutkan kata-kata “mawa yang” dan “aringgit” yang maksudnya adalah pertunjukan wayang.
antara banyak karya budaya lainnya. Budaya wayang meliputi seni peran, seni suara,
seni musik, seni tutur, seni sastra, seni lukis, seni pahat, dan juga seni perlambang. Budaya
wayang, yang terus berkembang dari zaman ke zaman, juga merupakan media penerangan, dakwah,
pendidikan, hiburan, pemahaman filsafat, serta hiburan. Menurut penelitian para ahli sejarah kebudayaan, budaya wayang merupakan budaya asli Indonesia, khususnya di Pulau Jawa. Keberadaan wayang
sudah berabad-abad sebelum agama Hindu masuk ke Pulau Jawa. Walaupun cerita wayang
yang populer di masyarakat masa kini merupakan adaptasi dari karya sastra India, yaitu Ramayana dan
Mahabarata. Kedua induk cerita itu dalam pewayangan banyak mengalami pengubahan dan penambahan
untuk menyesuaikannya dengan falsafah asli Indonesia. Penyesuaian konsep filsafat ini juga menyangkut pada pandangan filosofis masyarakat Jawa terhadap kedudukan para dewa dalam pewayangan. Para dewa dalam pewayangan bukan lagi merupakan sesuatu yang bebas dari salah, melainkan seperti juga makhluk Tuhan lainnya, kadang-kadang bertindak keliru, dan bisa jadi khilaf. Hadirnya tokoh panakawan dalam
pewayangan sengaja diciptakan para budayawan Indonesia (tepatnya budayawan Jawa) untuk memperkuat konsep filsafat bahwa di dunia ini tidak ada makhluk yang benar-benar baik, dan yang benar-benar jahat. Setiap makhluk selalu menyandang unsur kebaikan dan kejahatan. Alasan mereka cukup kuat. Di antaranya, bahwa seni wayang masih amat erat kaitannya dengan keadaan sosiokultural dan religi bangsa Indonesia, khususnya orang Jawa.
Panakawan, tokoh terpenting dalam pewayangan, yakni Semar, Gareng, Petruk, Bagong,
hanya ada dalam pewayangan Indonesia, dan tidak di negara lain. Selain itu, nama dan istilah
teknis pewayangan, semuanya berasal dari bahasa Jawa (Kuna), dan bukan bahasa lain.
Sementara itu, pendapat kedua menduga wayang berasal dari India, yang dibawa bersama
dengan agama Hindu ke Indonesia. Mereka antara lain adalah Pischel, Hidding, Krom,
Poensen, Goslings dan Rassers. Sebagian besar kelompok kedua ini adalah sarjana Inggris, negeri Eropa yang pernah
menjajah India.Namun, sejak tahun 1950-an, buku-buku pewayangan seolah sudah sepakat
bahwa wayang memang berasal dari Pulau Jawa, dan sama sekali tidak diimpor dari negara lain.Budaya wayang diperkirakan sudah lahir di Indonesia setidaknya pada zaman pemerintahan Prabu Airlangga, raja
Kahuripan (976 -1012), yakni ketika kerajaan di Jawa Timur itu sedang makmur-makmurnya. Karya sastra
yang menjadi bahan cerita wayang sudah ditulis oleh para pujangga Indonesia, sejak abad X.
Antara lain, naskah sastra Kitab Ramayana Kakawin berbahasa Jawa Kuna ditulis pada masa pemerintahan raja Dyah Balitung (989-910), yang merupakan gubahan dari Kitab Ramayana karangan pujangga India,
Walmiki. Selanjutnya, para pujangga Jawa tidak lagi hanya menerjemahkan Ramayana dan Mahabarata
ke bahasa Jawa Kuna, tetapi menggubahnya dan menceritakan kembali dengan memasukkan falsafah Jawa kedalamnya. Contohnya, karya Empu Kanwa Arjunawiwaha Kakawin, yang merupakan gubahan yang berinduk pada Kitab Mahabarata. Gubahan lain yang lebih nyata bedanya derigan cerita asli versi India, adalah Baratayuda Kakawin karya Empu Sedah dan Empu Panuluh. Karya agung ini dikerjakan pada masa pemerintahan Prabu Jayabaya, raja Kediri (1130 – 1160). Wayang sebagai suatu pergelaran dan tontonan pun sudah dimulai ada sejak zaman pemerintahan raja Airlangga . Beberapa prasasti yang dibuat pada masa itu antara lain sudah menyebutkan kata-kata “mawa yang” dan “aringgit” yang maksudnya adalah pertunjukan wayang.
No comments:
Post a Comment